Breaking News

Pasangan Hidup Yang Dewasa


Kapan Nikah?, adalah pertanyaan sederhana yang mengandung banyak sekali konotasi. Sedangkan saya sih enjoy dan santuy jawabnya, “Doakan Aja”. 

Jadi, sebenarnya alasan kebanyakan orang kenapa belum menikah diumur yang sudah uzur, bisa bervariasi. Mulai dari ngak yakin, ngak ada niat, ngak ada duit sampai ngak ada pasangan. Selain itu, untuk memilih pasangan hidup yang dewasa nampaknya sangat sulit dizaman sekarang ini.

Tidak Dramatik


Karena diumur yang sudah hampir setengah abad ini, tidak ada waktu lagi untuk main-main dengan urusan masa depan. Inilah alasan umum mengapa semakin tua, semakin susah cari pasangan.

Bukan karena pemilih seseorang lambat menikah, namun pertimbangan terhadap pasangan khususnya memiliki tingkat kedewasaan yang cukup, menjadi prioritas. Karena untuk mengimbangi pola pikir dan cara hidup sesuai umur.

Oleh karena itu, pasangan yang serasi, selaras dan memiliki visi dan misi yang sama ke masa depan, lebih dicari pada rentang umur yang bisa dibilang telat.

Move On


Masa lalu biarlah berlalu, kita yang sekarang hanya bisa belajar dari masa lalu untuk bekal memulai masa depan. Pepatah ini sebenarnya mengingatkan kita suaya tidak larut dalam masa lalu, karena kita sudah tidak tinggal disana.

Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki tujuan masa depan, jikalau masih saja terikat dengan kehidupan atau kenangan masa lalu.

Hal ini berlaku juga dalam hubungan, pasangan yang tidak bisa move on atau masih sulit melupakan mantan, barangkali bukan kriteria yang memiliki visi dan misi ke masa depan, kecuali dengan mantannya.

Transparansi


Karena psikologi laki-laki dan perempuan itu beda. Tidak heran kalau banyaknya perpisahan disebabkan karena ketidakterbukaan.

Laki-laki pada dasarnya adalah logika, sedangkan perempuan emosi. Ini bukan berarti laki-laki tidak punya perasaan, atau perempuan ngak pinter.

Filosofinya seperti sebuah kapal. Dimana kapten kapalnya adalah suami sebagai kepala rumah tangga, dan istri sebagai navigatornya. Sedangkan ABK (anak buah kapal) bisa anak-anak, keluarga maupun kerabat.

Kapten bertugas membawa kapal selamat sampai tujuan. Navigator bertugas sebagai pemberi saran utama tentang segala kondisi laut, dan ABK sebagai tenaga pendukung.

Bayangkan saja jika seorang navigator, saat ia tahu akan ada badai namun diam saja. Maka saat itu terjadi, sang kapten panik, dan kapal bisa tenggelam karena tidak ada antisipasi.

Seperti halnya tragedi kapal Titanic, kapten yang keras kepala meski tahu kapalnya tidak siap berlayar, tapi tetap melakukan pelayaran. Pada kondisi cuaca ekstrim memilih berada dipesta, bukannya kemudi.

Begitu juga dengan rumah tangga, semuanya harus dibicarakan. Karena penting sekali yang namanya komunikasi hubungan. Menikah itu kan untuk cari bahagia, bukan derita.

Konsisten


Alasan utamanya karena inteligensi berbahaya. Perkembangan informasi menyebabkan cara pikir setiap orang, meski tidak memiliki pendidikan tinggi bisa setara dengan orang yang gelar S nya macam-macam.

Seseorang yang memiliki basic pendidikan tinggi, pada umumnya memiliki pola pikir yang mandiri. Jika tidak ada konsistensi dalam hubungan, maka persoalan sepele bisa jadi debat panjang yang berujung pada perpisahan.

Karena masing-masing pihak merasa benar, maka pikir gampangya,“Saya kan bisa hidup tanpa dia”. Pikiran itu sangat mudah timbul pada pola pikir modern saat ini. Konsekuensinya adalah kegagalan .

Berbeda dengan orang yang pikirannya masih tradisionil. Semuanya dipikir, mulai dari budaya, agama, keluarga, masa depan anak-anak dan lain sebagainya. Sehingga perpisahan itu adalah opsi paling akhir.

Jadi, konsisten dalam sebuah hubungan itu sangat penting untuk menekan pemikiran radikal yang tanpa pikir panjang. Konsisten untuk tetap bersama meski berbeda.

Komitmen


Ini yang paling penting dalam hubungan rumah tangga. Dilihat dari angka persentase perceraian yang kurang lebih 50%, di hampir setiap negara, khususnya pada rentang umur 40 – 50 tahun.

Alasan perceraian yang sering diajukan bermacam-macam, seperti perzinahan, KDRT, perselisihan, poligami, sex, kriminal, pindah agama dan lain sebagainya.

Sebenarnya bukan itu yang memicu perceraian, tapi karena tidak memiliki komitmen dalam rencana hubungan rumah tangga ke masa depan.

Jika pada saat menikah, kita berpikir bahwa “seandainya saya tidak cocok dengan pasangan kita, kan bisa cerai”. Pola pikir inilah yang berbahaya.

Menikah dianggap sebagai sebuah satus harus, yang penting sudah pernah menikah. Apalagi hukum tidak memiliki otoritas untuk mengatur pernikahan dan perceraian.

Karena pernikahan atau perceraian bukanlah sebuah kriminal dimata hukum, melainkan ahlak dan moral yang urusannya dengan agama.

Pertimbangannya, yah lebih baik cerai dari pada tidak sejalan. Yang penting tanggung jawab masing-masih dipenuhi, supaya anak- anak tidak jadi gembel.

Pola pikir yang seharusnya ada sebelum seseorang menikah adalah memiliki komitmen hidup bersama selamanya. Ini bukan kriteria, tapi landasan pokok rumah tangga.

Komitmen yang didalamnya ada kesadaran bahwa, akan ada badai dalam kehidupan rumah tangga, tapi karena keinginan bersama, “ Tidak peduli seberapa dalamnya malam, akan berganti siang pada akhirnya”.